Carbon Trade

Carbon Trade



Carbon trade atau perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon membuat pembeli dan penjual karbon sejajar kedudukannya dalam peraturan perdagangan yang sudah distandarisasi. Siapakah Pembeli Karbon? Pembeli karbon adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer yang diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon.


ADA APA DENGAN CARBON TRADE?
Lalu, siapakah Penjual Karbon? Penjual karbon adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian yang bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka dan menjual emisi yang telah dikurangi kepada emitor (industri) lain. Mekanisme perdagangan karbon dapat dijelaskan sebagai berikut: negara (yang telah meratifikasi Protokol Kyoto) yang menghasilkan emisi karbon dari kuota yang ditentukan diharuskan untuk memberikan sejumlah insentif kepada Negara yang bisa menyerap karbon melalui proyek penanaman hutannya. Setiap negara/ industri mempunyai kuota karbon yang “boleh” diemisikannya dan memperbolehkan industri yang berhasil mengurangi emisinya untuk menjual kredit karbon yang tersisa ke industri lain.
Atau dapat kita ilustrasikan sebagai berikut: anggaplah merokok dibatasi 10 batang sehari. Jika ada orang yang mau merokok lebih dari 10 batang, ia harus membeli jatah dari orang yang hanya merokok 5 batang per hari, misalnya. Dengan membayar ongkos 5 batang, ia bisa melebihi kuotanya yang hanya 10 batang menjadi 15 batang.

MENGAPA HARUS CARBON TRADE?
Pemanasan Global atau Global Warming yang merupakan proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi sejak pertengahan abad 20 ditengarai sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Sebagai dampak dari meningkatnya suhu global ini di antaranya dapat kita saksikan melalui pemberitaan media tentang mencairnya salju abadi di kedua kutub bumi. Kita juga dapat merasakan peralihan cuaca dan musim yang tidak menentu, peningkatan tinggi muka air laut (mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil) dan peningkatan suhu air laut (ekosistem laut terganggu), bertambahnya frekuensi badai dan banjir, timbulnya berbagai macam penyakit, punahnya beberapa tumbuhan dan satwa yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan cuaca yang ekstrim, serta terpengaruhinya hasil pertanian yang tentu berpengaruh terhadap stok bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Akibat selanjutnya adalah malapetaka dan kemiskinan, penyakit dan tindak kejahatan, bahkan jutaan orang akan bermigrasi.
Hingga saat ini masih terjadi berbagai perdebatan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengurangi pemanasan global dan bagaimana cara beradaptasi terhadap kondisi ini. Sebagian besar pemerintah negara-negara maju di dunia telah meratifikasi Protokol Kyoto yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. Memang penerapan teknologi rendah emisi untuk industri merupakan solusi yang cukup ideal untuk masalah ini. Namun tentu biayanya sangat mahal dan menyulitkan bagi negara-negara berkembang dengan industrinya yang minim modal. Oleh karena itu, maka muncullah gagasan mengurangi emisi gas yang menyebabkan pemanasan global dengan mekanisme perdagangan karbon. National Air Pollution Control Administration (United States Environtmental Protection Agency’s Office of Air and Radiation) dengan model matematika berusaha membandingkan mana yang lebih efektif: industri berubah ke teknologi rendah karbon atau mengatasi problem emisi lewat jual beli di pasar karbon. Dan dalam perhitungan tersebut disimpulkan: reduksi dengan perdagangan karbon lebih efektif dan murah.


SAATNYA INDONESIA BERPERAN DALAM CARBON TRADE
Dengan mekanisme perdagangan karbon, peluang Indonesia untuk menjadi negara penjual karbon sangat besar. Potensi hutan Indonesia yang sangat luas dapat mendatangkan manfaat ekologi dan ekonomi sekaligus bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Sesuai kesepakatan awal bahwa perdagangan karbon hanya bisa melibatkan pohon yang bukan dari hutan alam dan bukan hutan/pohon yang dikembangkan sebelum tahun 1990, justru dapat memotivasi masyarakat Indonesia untuk lebih banyak menanam pohon dengan asumsi bahwa: ”dengan menanam pohon akan mendatangkan uang”. Dengan tumbuhnya kesadaran tersebut akan diperoleh  keuntungan secara ekologis di antaranya kelestarian hutan khususnya dan lingkungan hidup pada umumnya akan dapat terjaga dengan baik, program penghijauan hutan dan lahan akan berjalan lancar, kerusakan hutan akibat penebangan liar akan dapat ditekan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjaga tanamannya. Keuntungan dari sisi ekonomi diantaranya adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan serta peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan jasa lingkungan kawasan hutan sebagai kawasan wisata alam.

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Para pakar lingkungan mengkritisi praktek perdagangan karbon yang menurut mereka hanya merupakan pengembangbiakan sistem pasar bebas ke ranah kebijakan lingkungan. Perhitungan dan dasar ilmiah pengurangan emisi dinilai sangat rumit dan tidak jelas. Seperti bagaimana menghitung kapasitas karbon yang diserap oleh sejumlah pohon dan berapa harga per satuan berat karbon yang harus dibayar. Biasanya dalam praktek perdagangan, soal harga ditentukan oleh pemain terbesar yang bisa mengutak-atik harga sesuai keinginannya sendiri.
Bahkan lebih dari itu, negara-negara industri maju yang telah mengeluarkan dana untuk kompensasi emisi yang mereka keluarkan, otomatis akan menaikkan harga jual dari produk yang mereka hasilkan. Tentu saja negara-negara berkembang sebagai konsumen dari produk teknologi tinggi yang dihasilkan negara-negara maju akan terkena imbas dari kenaikan harga tersebut. Dengan demikian, dana yang didapatkan justru untuk membayar kenaikan harga tersebut dan bukan untuk kegiatan-kegiatan mengurangi emisi karbon.

LANGKAH YANG LAYAK DITEMPUH
Dengan berbagai pertimbangan akan kendala berlakunya perdagangan karbon tersebut, bukan berarti bahwa ide tentang perdagangan karbon tidak layak untuk dibahas lagi. Justru pembahasan lebih lanjut mengenai format dan mekanisme yang paling sesuai serta payung hukum yang menjadi dasar pelaksanaan carbon trade harus segera kita temukan.
Pengurangan emisi haruslah dituangkan dalam bentuk kesepakatan/tuntutan bersama dan bukan diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Oleh karena itu, diperlukan antara lain: standarisasi nilai pertukaran karbon, sosialisasi kepada masyarakat, penguatan kelembagaan misalnya melalui pembentukan Kawasan Pengelolaan Hutan, penguatan posisi tawar secara politik negara-negara penjual karbon yang pada umumnya adalah negara-negara berkembang, kesiapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang dapat diandalkan untuk penilaian total karbon dan adanya lembaga pengawas yang dapat menjamin perdagangan karbon berlangsung secara adil dan dapat menyelesaikan masalah jika muncul persengketaan.
Sebagai contoh Yayasan Gibon dan The Balikpapan Orangutan Survival Foundation di Kalimantan dengan kemampuan teknologi citra radar yang dimiliki bisa meyakinkan kepada pihak pembeli sehingga mendapat pembiayaan untuk membangun hutannya bersama masyarakat setempat. Dengan perdagangan karbon ini hutan yang dibangun dapat mempekerjakan lebih dari 650 kepala keluarga. Harga jual karbon yang berlaku saat itu adalah US $ 2-7 setiap ton karbon per tahun (Marsono,2004).
Bagaimana dengan Sulawesi Selatan? Seperti dikemukakan Dr.H.Syahrul Yasin Limpo,SH,M.Si,MH dalam Seminar Nasional Sylva Indonesia di Kampus Universitas Hasanuddin tanggal 19 Juli 2010, bahwa Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan telah memecahkan Rekor MURI dengan penanaman 2 juta pohon secara serempak dan mewajibkan program penanaman pohon setiap ada kegiatan pemerintah mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga propinsi. Maka sesungguhnya potensi Sulawesi Selatan dalam perdagangan karbon sangat besar. Kuncinya adalah kemajuan informasi yang dimiliki baik dalam citra radar untuk pemantauan kegiatan lapangan yang setiap saat dapat dengan mudah diakses dan dilakukan penilaian total karbon yang dihasilkan.
Jadi,kalau Kalimantan bisa mengapa Sulawesi Selatan tidak?

Load comments