Prolog malam
Selepas makan malam, langkah-langkah mulai menanjak dari kota Tai’an yang basah, menuju gunung yang selama ribuan tahun diasosiasikan dengan fajar, kelahiran, dan pembaruan sebagai pegunungan suci di timur. Tujuannya sederhana: menuju Jade Emperor Peak, menyentuh puncak sejenak, lalu turun kembali sebelum cahaya pertama merekah.
Arus liburan
Golden Week memindahkan gelombang manusia lintas negeri, dan di kaki Taishan arus itu terasa seperti sungai yang tidak pernah putus. Di gunung yang masyhur untuk perburuan matahari terbit ini, ritme langkah mengikuti keramaian, bukan ambisi pribadi.
Hujan di batu tua
Gerimis mengilapkan ribuan anak tangga, menuntut pijakan pendek dan mantap pada sektor curam menuju South Gate to Heaven yang sering tampak nyaris tegak dari kejauhan. Cahaya-cahaya headlamp memanjangkan garis tipis di batu, sementara mantel hujan menahan dingin yang biasa menggigit di jam-jam sebelum fajar.
Ritme dalam gelap
Tradisi naik malam membuat jalur serasa hanya napas dan batu—tak banyak yang terlihat selain gerbang-gerbang langit di kejauhan dan janji fajar di puncak timur. Setiap halte kecil lekas penuh; secangkir teh hangat di kedai-kedai sekitar jalur menjadi jeda singkat sebelum arus kembali bergerak.
Di punggung sejarah
Di balik gelap hujan, terbayang barisan peziarah dan kaisar yang memuliakan Taishan selama ribuan tahun sebagai yang terdepan di antara Lima Gunung Suci. Pengakuan UNESCO menegaskan lanskap dan warisan yang membuat tempat ini menjadi panggung abadi perjumpaan fajar dan doa.
Puncak yang singkat
Angin di puncak menggigit, kota berpendar jauh di bawahnya, dan keputusan pun diambil: tanpa menunggu sunrise, langkah berbalik menuju turunan pertama. Di Sun-Viewing Peak yang biasanya dipadati pemburu cahaya pertama, malam itu perjalanan memilih diam, ringkas, dan pulang.
Turun bersama hujan
Turunan menuntut fokus yang lebih tajam; batu basah membuat genggaman pada pagar dan railing terasa seperti doa pendek yang diulang-ulang. Arus manusia bergerak dua arah, saling memberi ruang di lorong-lorong sempit sekitar Shibapan yang tersohor curamnya.
Apa yang tinggal
Yang tertinggal bukan angka ketinggian, melainkan ritme bersama di hari-hari libur yang memadati negeri dan kesadaran bahwa mendaki Taishan selalu lebih dari sekadar olahraga. Malam hujan, langkah penuh, puncak singkat; esok, gunung yang sama akan kembali menyambut pejalan lain yang mengejar fajar.