Pengalaman Pertama Donor Darah

Pengalaman Pertama Donor Darah

Sudah cukup lama rasanya saya tidak menulis untuk blog ini. Belakangan ini saya terlalu fokus untuk melakukan hal lain seperti mengerjakan thesis dan menjadi salah satu content writer di Ginicaranya.com. Banyak ide yang muncul untuk mulai aktif menulis di blog ini, salah satunya adalah membuat kontent "My First", sebuah segmen yang berisi tentang pengalaman pertama saya melakukan sebuah hal. Di segment tersebut saya akan menceritakan apapun pengalaman pertama atau bisa dibilang first experience. Sebuah hal yang mungkin baru di blog ini karena saya jarang menceritakan hal tersebut. 

Oke, di My First kali ini saya akan berbagi pengalaman saya ketika melakukan donor darah untuk yang pertama kalinya. 

Semuanya diawali ketika saya melihat sebuat posting di instagram story salah satu teman yang menginformasikan tentang rencana persalinan kakaknya dimana dia membutuhkan beberapa kantong darah golongan O. Saya cukup tertarik untuk ikut berpartisipasi mendonorkan darah karena saya tau bahwa golongan darah O itu spesial, pendonor O bisa memberikan darahnya ke semua golongan darah yaitu A, B, AB dan O tentunya. Ironisnya, mereka hanya bisa menerima donor oleh orang yang bergolongan O. Mungkin orang yang dilahirkan dengan golongan darah O adalah orang yang secara default suka meberi karena hal tersebut, ya meskipun itu tergantung dari kepribadian masing-masing orangnya sih.

Kemudian saya langsung membalas instagram story tersebut bahwa saya bersedia untuk mendonorkan darah saya. Singkat cerita, saya diberi informasi mengenai kapan dan dimana saya bisa melakukan donor darah tersebut. Saya dengan rasa penasaran yang cukup tinggi berinisiatif mencari tahu tentang bagaimana persiapan seorang pendonor darah sebelum hari transfusi dilakukan. Saya cukup khawatir karena donor darah ini dilakukan di bulan Ramadan dimana saya sedang berpuasa. 

Berdasarkan informasi yang saya dapat, banyak sumber menyarankan untuk melakukan donor darah di pagi hari karena kondisi tubuh yang masih cukup segar. Selain itu, ketika sahur dianjurkan untuk meminum banyak air putih dan mengkonsumsi susu dan daging. Semua itu saya lakukan agar proses donor darah pertama saya bisa berjalan dengan baik, kendatipun saya tetap bisa menjaga puasa dihari tersebut. 

Saya orang yang cukup terencana, dihari itu saya berangkat ke rumah sakit dengan memesan ojek online karena jujur saya khawatir jika saya mengendarai motor sendiri akan berbahaya pada saat pulang donor darah. Siapa tau saya menjadi begitu letih karena darah saya diambil, sehingga fokus mengendarai bisa hilang. 

Sesampainya di rumah sakit, saya menanyakan ke petugas yang berjaga dan diarahkan ke Unit Pelayan Transfusi darah (UPTD). Disana, saya harus melakukan beberapa tahapan screening seperti mengisi informasi diri, untuk siapa darah saya akan didonorkan, serta mengisi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan donor darah. Menjadi pendonor darah bukanlah hal yang mudah karena ada persyaratan dan kualifikasi tertentu sebelum kita bisa melakukan kebaikan tersebut. Saat itu, beberapa orang yang juga akan melakukan donor darah gagal dalam proses screening karena mereka sedang dalam tahap vaksinisasi COVID-19. Menurut petugas rumah sakit, pendonor yang sedang vaksin baru bisa mendonorkan darahnya 14 hari setelah vaksin dosis kedua diberikan. Hal itu dilakukan agar vaksin yang diberikan tidak menjadi sia-sia karena belum sepenuhnya bekerja pada tubuh. 

Pengisian form selesai, saya masih harus menjalani test kadar Hb darah serta pengecekan golongan darah. Hasilnya, Hb darah saya cukup untuk sebagai pendonor dan juga diketahui bahwa golongan darah saya O+. Kemudian saya diarahkan ke ruangan wawancara dimana saya ditanyai beberapa pertanyaan oleh dokter mengenai status kesehatan, dicek tekanan darah dan ditanyai tentang kebiasaan hidup saya. Tahap wawancara berjalan cepat dan lancar, saya memenuhi syarat sebagai pendonor dan kemudian saya dibawa ke sebuah ruangan untuk langsung melakukan transfusi darah.

Di ruangan transfusi darah saya diminta untuk mencuci lengan, kemudian berbaring di sebuah ranjang yang cukup empuk. Disitulah pertamakalinya saya melihat seperangkat alat transfusi darah beserta jarum besar yang cukup membuat keringat saya bercucuran. Saya bukan orang yang takut dengan jarum suntik, tapi melihat besar jarum transfusi darah membuat keberanian yang telah saya bangun runtuh seketika. Saya tidak berani melihat ketika jarum tersebut masuk ke pembuluh darah tangan kanan saya. Dokter memberi tahu apabila selama proses transfusi saya merasakan pusing atau mual untuk segera memberitahunya. Ditengah-tengah proses transfusi, tiba-tiba terdengar bunyi yang menandakan bahwa darah yang sedang disedot mengalami macet, saya diminta untuk menggenggam sebuah bola karet dan melepaskannya secara perlahan, kemudian diulangi.

proses transfusi darah ditemani tontonan Avengers: Endgame


Proses transfusi darah akhirnya selesai, mungkin sekitar 20 menit. Satu kantong yang berisi sekitar 300 mL darah telah selesai diambil dari tubuh saya. Tidak ada rasa mual atau pusing yang saya rasakan. Dokter memotong selang penghubung saya dengan kantong darah, kemudian melepaskan jarum dari lengan saya. Perasaan saya sangat lega, saya bisa meninggalkan ruangan transfusi setelah 3 menit dan diberikan sebuah tas berisi susu, air putih dan biskuit sari gandum untuk mengembalikan stamina meskipun tidak bisa saya konsumsi saat itu juga karena sedang puasa. Dokter mengatakan saya bisa melakukan donor darah kembali 2 bulan setelah ini.

Pengalaman pertama donor darah tidak semengerikan itu, meskipun saya sedang menjalani puasa. Tidak ada rasa letih yang saya alami. Semuanya berjalan seperti biasa, saya bisa beraktifitas secara normal juga dihari itu. Sebuah pengalaman yang cukup bagus dan saya berencana akan melakukan donor darah lagi ketika ada kesempatan. 

  


Load comments